Menangiskah Kau Bung akan ‘Ratu Cantik’ di Bumi Kita?
BUNG, bagaimana amatanmu dari alam sana atas perhelatan kontes kecantikan sejagat di negeri yang kau turut
merdekakan ini? Bagaimana suara hatimu dari negeri abadi sana tentang
ajang pamer rupa dengan dalih pariwisata dan kemajuan bangsa yang kau
bebaskan dari penjajah?
Bung, hari ini aku miris mengingat
keturunan mereka-mereka yang kau bela saat melobi Bapak-bapak perumus
Piagam Jakarta. Dulu, kau datangi K.H. Wahid Hasyim, Agus Salim, Abdul
Kahar Muzakkie, juga Abikoesno Tjokrosoejoso agar kegigihan umat
mayoritas negeri ini menjadikan Islam sebagai dasar negeri dibatalkan.
Semua demi kebaikan bersama, agar Republik yang baru berdiri tidak
berpecah, katamu. Karena, saudara kita di timur Indonesia sana, syahdan,
keberatan dan bakal bisa memerdekakan diri. Atas kebesaran jiwa
nama-nama tadi, tujuh kata nan sakral itu pun pupus dari sehelai kertas
yang kita bak memori pahit bagi umat mayoritas.
Hari ini apa
yang sudah diberikan dengan kebesaran jiwa itu telanjur dibalas dengan
segelas tuba dengan bibir berbusa-busa para pemiliknya. Sayang, yang
melakukannya tidak sadar. Saudara-saudara dari tanah yang Bung bela di
tahun 1945, hari ini begitu susah mendengar suara saudaranya di seberang
pulau. Dulu kami menganggap mereka saudara dan biarlah lobi Bung untuk
ber-Pancasila diterima. Hari ini, untuk menghormati keberatan hati kami
saja, mereka begitu susah.
Aku tidak tahu apakah para
budayawan, agamawan hingga politisi yang keberatan bila agama
(mayoritas) dibawa-bawa ke soal kontes kecantikan sadar soal Pancasila?
Biasanya, kalau Bung ikuti berita koran dari alam sana, mereka selalu
mengatasnamakan Pancasila. Seolah Pancasila mereka hayati dibandingkan
saudaranya yang beratas nama agama mayoritas. Mereka seperti lebih
mengerti dasar negeri ini, tapi sayang, lupa untuk membalas bagaimana
Bung sudah bersusah payah yakinkan pemuka agama kami dulu soal dasar
negara.
Hari ini saudara-saudara kami itu bergeming dengan
aspirasi teladan kami. Dulu mereka teriak ingin merdeka, tetapi kami
hari ini tidak tebersit untuk mengeluarkan mereka dari Republik ini
gara-gara perkara ini. Kami hanya mereka bertoleransi ; tidak hanya
menuntut kepada kami untuk berlaku sama kepada mereka.
Mereka
seperti berada di atas angin bila menyangkut tanah perdikannya. Tidak
mau mendengar suara saudaranya. Semua demi dalih budaya dan pariwisata.
Padahal, kami menolak ajang pamer kecantikan bukan melulu karena agama.
Ini pelecehan adat ketimuran, yang mereka juga masuk di dalamnya.
Bukankah ini bagian soal akal pikiran yang kau repot tulis dalam
Pengantar Kejalan Ilmu Pengetahuan? Sudah negeri ini banyak dipecundangi
para maling uang rakyat, apakah harus dibodohkan dengan pamer tebar
senyum wanita asing tapi atas nama demi kemajuan Indonesia. Itu
komoditas feodal, bukan, Bung? Itu juga yang kau taksuka, bukan, Bung?
Entah mengapa, saudara kami selalu merasa tanahnya harus dan pasti
steril dari intervensi mayoritas di seberang pulau. Padahal, kami tidak
berniat sedikit pun mengubah tempat berdoa mereka menjadi seperti tempat
berdoa kami. Soal keyakinan, tidak boleh ada paksaan. Berbeda halnya
ketika ada penjajahan moral bangsa, yang kau pun harus repot tuangkan di
banyak tulisan, salah satunya dalam Kumpulan Karangan dan Pengertian
Pancasila.
Kau pernah cemburu ketika nama ‘Indonesia’ direbut
paksa oleh anasir komunis sebagai temuan mereka. Tentu kau (harus) lebih
cemburu lagi ketika tanah kelahiranmu dan tempat berjuangmu disebut
negeri toleransi; toleransi pada apa pun, termasuk menjual wajah dalam
komoditas kapital.
Wahai, Bung Hatta, kau yang mengenyam dari
muda hingga senja sebagai sosok sosialis nan religius, bisakah kau
menangis di alam baka sana ajaran penghargaan martabat wanita Indonesia
diturunkan seperti sekarang di pulau nan elok itu? Bahkan, aku tidak
yakin, teman akrabmu, Bung Karno, berbesar hati ketika kapitalisasi
merasuk dahsyat atas nama pemberdayaan wanita, yang itu terjadi di
tempat kelahiran ibundanya!
Bung, ini memang perih. Kalau saja
kau dulu tidak berepot ria jadi utusan pembisik dan pelobi soal dasar
negara, boleh jadi kontes murahan dibalut kemewahan ini tidak bakal
terjadi. Kalau kau dulu berdiam soal aspirasi orang timur negeri ini,
boleh jadi kecurangan mencoreng Republik dengan baju ‘buat memajukan
pariwisata’ tidak pernah ada. Sayang, kau memilih untuk meringankan kaki
sebagai juru bicara mereka.
Sayangnya, esensi pembelaanmu,
Bung, tidak tertangkap hari ini. Jauh dari bara sebenarnya bernegara.
Begitu mudah fanatik dengan adat, dan—sayangnya—amat toleran untuk
hal-hal yang sepatutnya bertenggang rasa dengan saudara mayoritasnya.
Soal ada estetika dalam sensualitas di balik tabir praktik agama mereka,
itu kami tidak ambil pusing. Itu keyakinan mereka yang kami tidak perlu
berepot mengoreksinya. Soal ini ada peradilan yang lebih tepat. Yang
kami inginkan sederhana: mereka peka dengan aspirasi saudaranya selagi
itu bukan bagian dari praktik agamanya. Adakah kontes kecantikan yang
sarat komersialisasi itu tercantum dalam kitab suci?
Bung,
sungguh kami memaafkanmu, seluas kami memaafkan kebodohan kami yang
mungkin sebatas pecundang dan hanya bisa menjadi pengembik di tengah
banyaknya kami. Bung, kami tidak pernah tahu isi hatimu saat ‘berjuang’
soal dasar negara, yang kami yakini sebatas fasihnya lidahmu: demi
persautan Republik. Kami terima ini, Bung. Yang kami tidak mengerti,
mengapa kami selalu dianggap subversif dan intoleran ketika soal yang
juga kaupedulikan, semisal kontes kecantikan ini.
Bung, kami
hanya sedih: dulu kami sudah bertenggang, kini kami diabaikan isi
hatinya oleh anak keturunan yang kaubela dulu. Kami tidak anggap mereka
musuh atau lawan; kami hanya meminta Indonesia tidak dieksploitasi
kapitalisme dan pembodohan. Sungguh, kami ingin agar mereka peka soal
ini; sepeka ketika mereka ingin syariat kami ditepikan demi kerukunan.
[Islampos]